Kini pun terkait Gerindra yang menyusul bergabung dengan koalisi pemerintah dan Prabowo Subianto akan ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan, sangat mungkin bukan hanya persoalan loby Prabowo dengan Megawati, namun ada kalkulasi tersendiri guna membuat perubahan besar lainnya, melalui orang yang dianggap berbeda seperti halnya Susi Pudjiastuti yang hasilnya luar biasa.
Keputusan ini memang sontak menimbulkan berbagai tanggapan pro kontra, dan sebagian besar kontra atau muncul kekecewaan dari sebagian pendukung Jokowi. Itu sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi. Sebab mereka umumnya merasa bahwa perjuangan yang dianggap berdarah-darah dan polarisasi yang tajam sejak 2014 masih sangat membekas.
Semua itu dikarenakan lawan politik Jokowi menerapkan politik identitas yang menggunakan agama sebagai media kontestasi yang kurang sehat. Sehingga muncul pula pemikiran mengapa harus ada pilpres yang menghabiskan biaya 25 trilliun lebih, bila pada akhirnya para kontestan berkoalisi, selain tentunya muncul berbagai kekhawatiran lainnya yang masuk akal.
Semisal khawatir akan menjadi duri dalam daging terkait dengan rekam jejaknya atau masa lalunya yang diduga akan pelanggaran HAM. Lalu khawatir Prabowo tidak bisa mengikuti irama kerja Jokowi yang cepat, terlebih faktor usia dan belum adanya pengalaman Prabowo di eksekutif, hingga kekhawatiran munculnya dendam baru bila Prabowo direshuffle saat kinerjanya dinillai tidak sesuai dengan janji Prabowo sendiri.
Belum lagi muncul kekhawatiran akan sulitnya mewujudkan program pengambilan uang yang berada di Swiss, lalu muncul pemikiran ini bisa dijadikan batu loncatan agar bisa menggalang kepercayaan dari pendukung Jokowi dalam rangka menuju 2024. Lalu kekhawatiran bahwa jabatan itu sangat strategis, karena bisa menggantikan posisi presiden bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri, bila Presiden dan Wakil Presiden mangkat.
Sekarang mari kita sejenak berfikir positif mengapa Prabowo menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Pertama. Waktu lima tahun untuk membangun dan melakukan perubahan besar negeri ini pastilah terlalu pendek, sehingga Jokowi ingin fokus dan tak ingin terganggu oleh adanya oposisi yang bisanya hanya rewel tapi tanpa kontribusi.
Oleh karenanya lebih baik sekalian dirangkul. Hal ini agar oposisi bisa sekalian memahami betapa beratnya mengurus negara, dus tidak cukup hanya dengan retorika, sekalian agar bisa sekalian memberikan kesempatan kepada oposisi untuk berkontribusi secara langsung. Karena tugas utama presiden saat ini, bukan lagi hanya sekedar membangun semata, namun bagaimana menyatukan semua komponen bangsa di negeri ini
Sekaligus ini menjadi kesempatan Prabowo membuktikan sebagai seorang patriot bahwa diharapkan nantinya bisa mengatasi persoalan paham radikal, selain menggalang para pendukungnya untuk kembali rukun satu sama lainnya, serta rekonsiliasi para loyalisnya, utamanya yang berasal dari kalangan militer, baik yang aktif, maupun yang sudah pensiun. Lagipula keduanya sudah tidak ada beban politik, karena keduanya tidak lagi akan saling berhadapan di 2024 mendatang.
Kedua. Menteri Pertahanan itu katagorinya masih jabatan politis, dus bukan jabatan militer. Jadi tidak perlu terlalu paranoid, toh Jokowi adalah panglima tertinggi di negeri ini, sehingga bila ada pemikiran makar terkait dengan 'Strategi Rumah Terbakar,' rasanya justru bakal jadi bumerang bagi Prabowo sendiri. Yang elok adalah bagaimana seorang Prabowo membuktikan bagaimana meningkatkan kekuatan militer Indonesia yang pernah ia katakan masih lemah, menjadi kekuatan raksasa Asia, dengan 125 trilliun rupiah lebih yang dianggarkan pemerintah.
Ketiga. Bila menyitir pernyataan Gusdur bahwa Prabowo adalah orang yang paling iklas, maka diharapkan bahwa ini pembuktiannya untuk berdamai dengan egonya. Sehingga jiwa nasionalisme tidak lagi berfikir tentang jabatan presiden, tapi menjadi menteri tetaplah sangat terhormat selama bisa ikut menangkal apapun dan siapa pun yang bisa mengganggu jalannya roda pemerintahan yang sedang menuju ke arah modernisasi dan revolusi industri 4.0.
"Karena sejatinya musuh Indonesia itu adalah mereka para penghianat yang ingin memecah belah bangsa, serta ingin merubah dasar negara Pancasila dan UUD 45 dengan ideologi asing yang dibawa dari dunia lain. Yang pasti, politik itu tidak ada yang abadi. Tapi terkadang seperti wanita secantik dan setajir Nia yang tidak tahu caranya mengupas salak."
Oleh: Wahyu Sutono
Sumber: https://www.facebook.com/803774136380640/posts/2715537818537586/