fbpx

Saya percaya bahwa radikalisme itu produk politik, bukan sifat asli bangsa Indonesia.

Singkatnya tokoh-tokoh partai Islam yang kalah melulu dalam pemilu otaknya buntu hingga melacurkan dirinya pada akademisi yang memang sedang mencari panggung.

Dalam artikel klasik, Zwischenbetrachtung/Religious Rejections of the World and Their Directions (1915), Max Weber menyoroti bahwa politik akan membawa-bawa agama sebagai bahan propaganda (pathos) dan sentimen kelompok, hingga mereka percaya bahwa kehidupan dan kematiannya akan berarti.

Pastinya mereka yang ngaku paling eslam akan ngamuk-ngamuk dan protes menuduh agnostik (tidak percaya agama) bahkan atheis (tidak percaya Tuhan).

Tetapi meladeni para primata yang lebih suka berteriak-teriak dibanding membaca memang gampang. Tidak usah diladeni "tinggal lo jual ane borong." Kerena itulah bahasa yang mereka mengerti.

Sukses tidaknya gerakan radikalisme sangat tergantung dari sikap pemerintah dan tingkat keberanian masyarakat untuk melawan.

Sayangnya di negara-negara yang demokrasinya sedang mencari bentuk, radikalisme akan sukses. Contohnya di negara-negara demokratis di Timur-Tengah justru babak belur. Hingga Mesir lebih memilih kembali sisi yang pro Hoesni Mubarak, mantan presiden terguling bahkan sempat dipenjara dengan memenjarakan Moersi.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kecil kemungkinan kita dipimpin junta militer model Mesir hanya karena masyarakat takut FPI-PKS and friends.

Sebabnya karena faktor netizen Indonesia yang julid nan lucu.
.
.
.
Lutfi Bakhtiyar

Sumber: https://www.facebook.com/803774136380640/posts/3775469002544457


Add comment


Security code
Refresh