Search
- Details
 - Category: Politik & Opini
 - By ZA Sitindaon
 - Hits: 503
 

Pemahaman nenek lu !!!
Mereka pejabat itu disumpah pake kitab suci, kok mencuri? Sama Tuhan saja berani berkhianat, apalagi sama Rakyat..... 
- Details
 - Category: Politik & Opini
 - By ZA Sitindaon
 - Hits: 546
 

Surat Terbuka Untuk Bu Susi: Jangan Sok Bijak Kalau Gak Paham
Halo Bu Susi Pudjiastuti mantan menteri KKP. Perkenankan saya menuliskan sepatah dua patah kata di tulisan ini terkait sikap Anda yang mengajak follower dan netizen untuk mengunfollow Permadi Arya aka Abu Janda dengan alasan yang bersangkutan ‘yang selalu menyinggung perasaan publik’.
Untuk ibu ketahui saja, Abu Janda dan saya sendiri serta banyak lagi netizen lainnya berada di pihak ibu selama menjadi menteri. Saya sendiri dulu merasa tidak peduli dengan kegaduhan yang Bu Susi akibatkan selama kebijakan itu demi kesejahteraan nelayan, keberlangsungan sumber daya laut, dan kedaulatan NKRI. Saya tidak peduli dianggap bodoh, goblok, cebong, dan penjilat karena saya menganggap kebijakan Ibu memang penting untuk negara. Ingat, sekalipun kebijakan itu menimbulkan kegaduhan hebat.
Saya heran kemudian ibu menunjukkan sikap yang menurut saya kurang bijak dan tidak paham dengan persoalan yang dibahas tetapi sudah meminta orang untuk berhenti mengikuti Abu Janda dan pada saat yang sama menuduhnya menyinggung perasaan publik dengan alasan situasi pandemic dan demi kedamaian dan kesehatan kita semua.
Mari Bu Susi perhatikan dulu cuitan Abu Janda ini: "Islam memang agama pendatang dari Arab, agama asli Indonesia itu sunda wiwitan, kaharingan dll. dan memang arogan, mengharamkan tradisi asli, ritual orang dibubarkan, pake kebaya murtad, wayang kulit diharamkan. kalau tidak mau disebut arogan, jangan injak2 kearifan lokal."
Pertama, publik mana yang ibu maksud tersakiti dengan cuitan itu? Kalau ada orang Islam yang tersakiti dengan kata ‘arogan’ maka mereka adalah golongan yang Permadi sebut yang mengharamkan tradisi asli, ritual orang dibubarkan, pake kebaya murtad, wayang kulit diharamkan. Atau mungkin bagian dari umat Islam yang melakukan itu semua sampai Bu Susi juga ikut marah?
Ketika kelompok Islam tertentu mengharamkan tradisi asli, membubarkan ritual, yang pakai kebaya dianggap murtad, wayang kulit diharamkan, rumah ibadah kaum minoritas dibakar dan dilarang, mulut Bu Susi di mana? Kog sekarang tiba-tiba sok mengajak damai hanya karena Permadi mengungkap fakta?
Kedua, kedamaian seperti apa yang ibu maksud? Yang gaduh itu hanya orang-orang yang memang tidak siap dengan perbedaan pendapat dan pandangan, yang sukanya intoleran terhadap yang berbeda pendapat. Tapi bagi orang yang melawan intoleransi, damai-damai saja. Permadi Arya tidak pernah membubarkan ibadah orang lain, tidak pernah persekusi dan tidak pernah mengusik kedamaian orang lain kalau mereka tidak sedang mengusik kedamaian Indonesia.
Dulu buat negeri ini gaduh karena kebijkan ibu. Bukan hanya publik yang gaduh, kementerian yang satu dengan yang lainnya pun gaduh. Itukah kedamaian yang Bu Susi maksudkan?
Prinsipnya harus sama. Selama yang diperjuangkan itu adalah kebaikan bagi negeri ini, maka kegaduhan yang ditimbulkannya adalah reaksi manusia-manusia yang gerah dengan fakta yang ada. Sama seperti ketika Bu Susi menenggelamkan kapal dan melarang ekspor benur – yang bagi banyak orang sebagai langkah yang salah – juga menimbulkan kegaduhan. Tetapi Bu Susi tidak lalu diam dan menyerah saja bukan? Sekali lagi, selama kita benar, kenapa takut dengan kegaduhan.
Ketiga, di mana mulut ibu ketika intoleransi dan diskriminasi yang dilawan Abu Janda selama ini? Permadi Arya memang sangat vokal melawan kaum intoleran dan diskriminatif. Malah dia tidak peduli dengan adanya perlawanan dan ancaman terhadap dirinya. Dan sekarang pun dia sedang melakukan itu.
Di mana ibu ketika nonmuslim dipaksa memakai jilbab di sekolah negeri? Di mana mulut Bu Susi ketika minoritas dilarang membangun rumah ibadah? Kenapa Bu Susi tidak buka suara ketika kelompok intoleran memprovokasi dengan dalih agama dan menimbulkan kegaduhan? Kenapa Bu Susi tidak mengajak orang untuk tidak mengikuti Rizieq, Tengku Zulkarnaen, Haikal Hassan dan orang-orang yang seruannya sangat provokatif? Apakah karena mereka itu punya massa sementara Abu Janda tidak punya massa?
Bu Susi, saya tidak akan kecewa dengan dedikasi Anda terhadap bangsa ini selama ini. Kebaikanmu akan tetap saya apresiasi. Tetapi soal Permadi Arya, saya meminta Bu Susi diam saja. Tidak perlu ibu sok bijak dan sok mencintai perdamaian pada saat yang sama ibu pernah menjadi pemicu kegaduhan di negeri ini.
Kalau Bu Susi belum pernah berdebat, berbeda pendapat dengan kadrun, berhadapan dengan kaum intoleran, dan menghadang provokasi pecah-belah dari lawan Permadi Arya, lebih baik Bu Susi diam saja dech. Saya pastikan kalau Bu Susi memang seorang nasionalis yang cinta NKRI, berhadapan dengan pemecah-belah bangsa ini tidak cukup dengan minum kopi di tepi pantai sambil Twitteran.
Oh iya, Bu Susi. Bagi banyak minoritas tertindas, Permadi Arya aka Abu Janda dianggap sebagai pejuang. Bukan tanpa alasan. Ketika tokoh-tokoh nasional dan politisi termasuk Bu Susi diam terhadap nasib mereka diperlakukan secara diskriminatif, Permadi Arya justru berteriak lantang untuk memperjuangkan nasib mereka.
BTW, mohon maaf kalau ada kata yang salah dan kurang berkenan. Bu Susi dan Permadi Arya adalah dua pribadi yang saya hormati.
Salam dari rakyat jelata
#sayabersamabujanda
#seperjuanganjanganbiarknsendiri
.
.
.
Mora Sifudan
Anna Belova
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3937648696326486&id=803774136380640
- Details
 - Category: Politik & Opini
 - By ZA Sitindaon
 - Hits: 527
 
DIMANAKAH SUARA UMAT KRISTIANI DI PARLEMEN ??
Ketika ada penutupan gereja secara paksa oleh radikal, kalian anggota dewan beragama Kristen/Katholik tidak ada yang berteriak membela kami.
Abu Janda lah yang membela kami.
Pada saat ulama radikal menghina Salib dan melecehkan Yesus Kristus, kalian anggota dewan beragama Kristen/Katholik juga tidak muncul untuk membela kami apalagi sampai pasang badan mempertaruhkan jabatan kalian.
Lagi lagi, Abu Janda lah yang membela kami.
Kini, Partai Politik kalian ingin menjebloskan Abu Janda ke penjara namun kalian pun tetap diam, tidak membela orang yang selama ini membela kami dan kaum kalian sebagai minoritas yang tertindas di negeri sendiri.
Membela kebenaran dan keadilan adalah membela ajaran Yesus Kristus. Lantas, dimanakah suara kalian yang kami pilih untuk membela kebenaran dan keadilan ???
#SavePermadiArya
#SaveAbuJanda
Sumber: https://www.facebook.com/1782138055/posts/10214597743335590/
- Details
 - Category: Politik & Opini
 - By ZA Sitindaon
 - Hits: 646
 

PERMADI ARYA alias USTADZ ABU JANDA
Saya mengenal Permadi Arya alias Abu Janda hanya melalui FB. Setau saya dia seringkali mendapat ancaman karena upayanya sangat keras memerangi kaum radikal dan intolerant di dalam negeri. Dengan bahasa yang lugas dan gaya bicaranya yang ceplas ceplos plontos, terkadang memang tampak menantang, ditambah lagi dengan mimik muka menyinyir.
Terkadang saya mikir, si Abu Janda ini seperti orang gila, tapi itulah karakter seorang Abu Janda. Jujur saya katakan bahwa saya salud dengan keberaniannya dalam menegakan keadilan dan membela kaum minoritas di Indonesia yang seringkali tertindas dan memperoleh perlakuan diskriminasi.
Saat ini, Abu Janda sedang berhadapan dengan hukum, mulai dari tuduhan diskriminasi terhadap Natalius Pigai, hingga tuduhan menista Islam karena Abu Janda mengatakan Islam adalah agama arogan.
Namun, bila kita mau jujur, Abu Janda bukanlah satu satunya orang yang pernah terselip lidah. Banyak orang yang dengan sengaja menghina agama Kristen dan Hindu, tapi tidak pernah diproses hukum.
Malahan ada juga beberapa Ustadz terselip lidah saat memberikan ceramah sehingga dianggap menghina Nabi Muhammad (tidak menciptakan rahmatan lilalamin) dan ada juga yang menista ajaran Islam (nikmat di Surga adalah pesta sex). Apakah para Ustadz tersebut di penjara ?? Tidak, bahkan diproses hukum hingga ke pengadilanpun tidak.
Kini, giliran Abu Janda yang terselip lidah, kagak tanggung tanggung ada 9 partai politik ikut bersuara mendesak Polisi mengusut dan mengadilinya hingga kemungkinan terburuknya adalah mereka ingin Abu Janda dijebloskan ke penjara. 
Ditambah lagi, mantan Menteri Susi Pudjiastuti juga ikut menyuarakan untuk meng-unfollow akun Abu Janda. Coba kalian ingat ingat, Ibu Susi tidak pernah tuh berteriak menyuruh kita untuk unfollow Ustadz Somad, Felix Siauw, Tengku Zul. 
Sungguh aneh, sakit hatinya sama Pak Jokowi koq’ malah Abu Janda yang dijadikan pelampiasan. Daripada saya unfollow Abu Janda mendingan unfollow Susi Pudjiastuti !!
Sekarang pakai logika kita, untuk masalah beginian saja 9 Partai Politik turun tangan mengeroyok Abu Janda padahal Abu Janda itu bukan Politikus, bukan Menteri, bukan Komisaris atau Dirut BUMN. 
Abu Janda itu cuma wong cilik wong gendeng yang sering pakai blangkon Jawa tapi gigih melawan radikalisme dan intoleransi di Bumi Pertiwi.
Masalahnya adalah Permadi Arya atau Abu Janda sering dianggap sebagai kerikil sandungan oleh mereka yang gemar memainkan politik identitas agama untuk melawan pemerintahan Jokowi, namun mereka selalu gagal untuk menjatuhkan Jokowi.
#SaveAbuJanda
#SavePermadiArya
Salam,
Raymond Liauw
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10214594369771253&id=1782138055
- Details
 - Category: Politik & Opini
 - By ZA Sitindaon
 - Hits: 522
 

TIDAK TAHU APA AGAMA MEREKA - Sejak menjadi reporter hingga jurnalis saya sering mendapat tugas keluar daerah dan keluar negeri. Beberapa tahun terakhir ini diajak diajak terbang menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) di berbagai daerah untuk memeriahkan harijadi korps kebanggaan saya, PWI.
Saya pernah terbang 24 jam, dengan beberapa kali transit saat ke New York, Amerika Serikat - melalui Guam, Honolulu dan Los Angeles. Terbang ke Suriname melalui Amsterdam selama 14 jam dan 9 jam berikutnya menuju ke Paramaribo.
Saya mulai terbang - maksudnya naik pesawat - sejak 1984 hingga 2020 lalu. Dan akan terbang lagi jika ada kesempatan.
Namun, selama ini - menjelang dan saat terbang atau sesudahnya - tak pernah terpikirkan oleh saya, apa agama pilotnya dan co-pilotnya. Juga pramugarinya. Serta awak kabin lainnya.
Sesuai prosedur penerbangan, kapten pilot memang memperkenalkan dirinya, namanya, menjelaskan cuaca, lama penerbangan, daya jelajah pesawat, ketinggian dan kapan akan tiba di bandara tujuan. Tapi dia tak menyebut apa agamanya.
Padahal saat kita naik pesawat, nyaris seluruh nyawa penumpang kita pasrahkan pada mereka: pilot dan co-pilot itu. Dan kita sama sama tahu bahwa kecelakan pesawat sangat fatal dampaknya. Prosentase keselamatan dan harapan hidup para penumpangnya - juga pilot dan awak kabinnya - sangat minim.
Jika Anda menganggap cerita naik pesawat ke luar negeri sebagai "pamer" maka saya akan ceritakan juga bahwa saya sering naik bus malam yaitu saat pulang kampung. Dan sekurangnya delapan jam di jalan untuk sampai kampung halaman.
Kadang juga saya naik kereta. Baik jarak jauh atau KRL di seputar jabotabek.
Sekali lagi - untuk semua itu - saya tidak menanyakan apa agama sopirnya dan agama masinis keretanya. Bahkan nama sopir dan sang masinis pun saya tidak tahu - karena prosedur perjalanan darat tak pernah ada yang menyebut nama sopir. Mereka anonim.
Padahal kecelakaan bus dan kereta juga bisa fatal. Sangat fatal. Bila pesawat prosedur teknisnya sangat ketat maka bus jarak jauh cenderung longgar. Bukan sekali dua, kecelakaan terjadi karena sopirnya ngantuk atau ugal ugalan.
Tapi, lagi lagi, saya - nampaknya kita semua - tidak pernah menanyakan apa agama sopirnya dan apakah ada hubungan agama dengan kecelakaan fatal yang terjadi.
SAYA pun pernah menjalani operasi besar di rumah sakit besar. Operasi katarak dan berlanjut dengan pengangkatan batu empedu secara berurutan. Ditangani tim dokter, selama enam jam lebih. Menjalani persiapan panjang hingga 16 hari terkapar, dengan penjelasan panjang lebar dan tanda tangan perjanjian ini-itu. Akan tetapi saya pun tak pernah kepikiran menanyakan apa agama dokter yang mengupas kelopak mata saya dan dokter bedah yang menusuk perut saya.
Operasi pengangkatan batu empedu menggunakan cara laparaskopi. Bius total, tentu saja. Untuk katarak mata bius lokal.
HAL YANG INGIN saya sampaikan adalah agama dan profesi seseorang sering tidak relevan dan tidak urgent buat ditanyakan.
Pilot, sopir, masinis dan dokter bedah sama seperti kita semua - punya integritas, reputasi dan keluarga. Bertanggungjawab pada perusahaan/maskapai. Mereka tak mau membuat kesalahan yang berakibat fatal - karena menyangkut nama baik, nasib diri, dan keluarga serta nafkahnya. Kelanjutan profesinya.
Karena itu - jika Anda menanyakan agama seseorang pastikan yang akan dibahas relevan. Ada kaitannya. Misalnya untuk kepentingan administrasi, penyediaan akomodasi atau jamuan/makanan. Atau memberi selamat hari hari besar.
Nama Dimas Supriyanto Martosuwito tidak menjelaskan agamanya. Bisa saja Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kejawen atau tidak beragama. Tapi kalau Muhamad Supriyanto atau Ignatius Supriyanto atau I Gusti Bagus Supriyanto mungkin ada petunjuknya.
Tapi itu pun belum tentu benar.
Di luar negeri, khususnya di negara maju dan beradab, menanyakan agama, umur dan status perkawinan seseorang - pada awal perkenalan - termasuk sikap tidak sopan. Karena itu ranah privat.
Jangan tiru orang orang bodoh di Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mencampuri hal hal yang bukan urusannya dan tidak ada kaitannya dengan agama dan bidang tugasnya. Kejauhan. Tidak tahu etika dan tata krama. Tidak berakhlak. Kebablasan.
Mempersoalkan agama calon Kapolri, seolah olah perbedaan agama yang dianutnya akan membawa kita menjadi murtad dan kemusliman kita menjadi rusak, memperlihatkan sikap buruk sangka yang malah dilarang agama.
Sangat mengherankan dari sebuah majelis tempat berorganisasi orang orang yang berilmu (ulama = orang berilmu, pen.) dan beragama tapi tidak malu pamer kebodohan. Tidak menunjukkan akhlak mulia. ***
.
.
.
Supriyanto Martosuwito
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3899948776763145&id=803774136380640
- Details
 - Category: Politik & Opini
 - By ZA Sitindaon
 - Hits: 669
 

KESOMBONGAN ORANG JAKARTA
Sebetulnya hanya untuk menyebut beberapa orang. Artinya tak setiap orang Jakarta sombong. Yang baik, rendah hati, dan pintar, sebenarnya lebih banyak. Cuma, media konvensional lebih suka mengutip orang Jakarta yang sombong. Sudah sombong, buruk pula.
Tadi sore, misalnya, TV-One meminta komentar Ridwan Saidi, mengenai ‘temuan’ tunawisma dalam blusukan Tri Rismaharini. Mensos yang baru seumur jagung, dari Surabaya langsung blusukan, dan bikin gerah orang Jakarta.
Ridwan Saidi, lahir dan tinggal di Jakarta, sejak 80 tahun lampau. Sementara Risma? Belum juga seminggu. Mangkanya Ridwan merasa dilecehkan. Bukan hanya mengritik Risma, tetapi juga menghinanya. Orang baru kemarin sore di Jakarta, katanya. Ridwan mengatakan dirinya lebih tahu Jakarta. Tak ada gelandangan di Thamrin, katanya. Di Jakarta ini banyak orang pintar, katanya pula. Omongan orangtua, yang seperti biasa, agak susah dihormati.
Bachtiar Chamsah, narsum bekas Menteri Sosial yang juga diminta komentar, mengatakan blusukan Risma itu politis. Tak ada gunanya. Ia mengamini pendapat Ridwan Saidi, di Jakarta itu banyak orang pintar. Dan ia juga menilai, langkah Mensos itu tidak benar. Ia minta urusin dulu itu soal korupsi menteri sebelumnya.
Bachtiar ini entah lupa, pura-pura dungu, atau muna. Ia sendiri juga mensos yang dipenjara karena korupsi mesin jahit dan impor sapi. Menteri Sosial jaman Megawati dan SBY itu (2001 s.d 2009), divonis bersalah karena korupsi dalam proyek pengentasan fakir miskin Depsos (2006). Tapi sore tadi itu ((7/1), politikus dari PPP itu berlagak suci.
Agak dengan bahasa belibet, Ahmad Riza Patria, wakil gubernur DKI Jakarta, yang juga menjadi narsum, sebetulnya sama penilaiannya. Sebagai penguasa Jakarta, meski wakil, ia merasa lebih tahu. Dan minta agar ada koordinasi (antara Pemda DKI dengan Pempus). Namun intinya sama, langkah Risma agaknya tak menyenangkan ‘orang’ Jakarta. Bahkan anggota DPRD DKI Jakarta, dari Demokrat, juga tak suka blusukan Risma yang dituding politis. Rocky Gerung juga tak suka, tapi kalau yang ini entah apa alasannya.
“Tak ada gelandangan di jalan Thamrin”, hanya untuk mengatakan Jakarta sudah baik. Tak ada kemiskinan, setidaknya di jalan protokol. Meski kata-kata Ridwan, benar-benar ironi. Apakah Ridwan yang pintar itu tahu, jembatan penyebrangan orang di Matraman bobrok? Dan mengkhawatirkan kondisinya, karena bisa ambrol? Kalau Ridwan tidak tahu, klaim soal banyak orang pintar di Jakarta itu, tak berkorelasi bahwa pintar = bermanfaat.
Ada begitu banyak kenyataan orang pintar tak bermanfaat, hanya karena merasa paling pintar alias sombong. Dan media yang memberi ruang pada persona seperti itu, demi kontroversi atau jebakan teori konflik, agar mendapatkan perhatian publik.
Keyakinan jadul itu, menunjukan ketidakmampuan media memposisikan diri dalam perubahan situasi sosial dan politik. Media kemudian merosot nilainya hanya sebagai amplifier. Ketika masyarakat awam mempunyai medianya (medsos), lembaga pers yang dulu disebut mainstream media (kemudian berubah menjadi media konvensional), kini bukan lagi lembaga yang bisa dipercaya.
Di Australia, dalam penelitian media tahun 2012, pers (juga partai politik) adalah lembaga yang tak lagi dipercaya. Hal yang sama, juga terjadi pada masyarakat AS, paska kemenangan Obama dan berpuncak pada Trump. Dalam Digital News Report 2019, Reuters yang memiliki lembaga untuk studi jurnalistik, melaporkan hasil kajiannya bahwa 33% warga global mengaku tak bisa lagi percaya pada kebenaran berita. Apalagi ketika media tak lagi bisa menutupi posisinya, yakni memiliki kepentingan-kepentingan berkait dengan keberadaannya. Bisa dari sisi ekonomi-bisnis, atau pun politis.
Jargon pemisahan fakta dan opini, masih didengung-dengungkan. Tapi beropini sejak dalam perencanaan berita yang mau dimunculkan, adalah fenomena yang makin nyata. Maka ketika Risma menemu gelandangan di Thamrin, bukan bagaimana pembahasan pada persoalan kenyataan sosial. Namun lebih pada soal menegasi apa yang dilakukan Mensos baru itu.
Mensos bukan walikota, demikian diksi yang dikeraskan. Ia mengurusi rakyat sak Indonesiah Rayah. Dan di situ, media menghilangkan substansi permasalahannya. Dan itu kesombongan baru. Orang Jakarta lebih sensi dengan angka 2024, daripada angka kemiskinan. | @sunardianwirodono.
Sumber: https://www.facebook.com/803774136380640/posts/3870686419689381/