Top Stories
-
Maling Motor di Tangerang dan Jakbar Ditangkap Saat Mau Jual Hasil Curian
-
Dampak Dari Kelebihan Makan Durian
-
Etika Sarapan di Hotel, Bolehkah Tamu Bungkus Makanan ?
-
Setahun Pemerintahan Prabowo, AHY Jadi Menteri Berkinerja Terbaik
-
7 Tanda Tubuh Kekurangan Vitamin D yang Sering Tak Disadari
-
Chery Perkenalkan Baterai dengan Jarak Tempuh 1.300 Km Sekali Isi
Search
- Details
- Category: News of the Day
- By ZA Sitindaon
- Hits: 378
Sitindaon News - Kakak beradik Tety Tiurida Silitonga dan Berlian Silitonga sebagai penggugat patut bernapas lega setelah perjuangannya menuntut hak warisan dimenangkan oleh Pengandilan Negeri Medan dalam persidangan 28 Januari 2015.
Keduanya mengajukan gugatan karena tidak mendapatkan hak warisan, padahal objek gugatan berupa Wisma Umum yang berada di Jalan AR Hakim Medan merupakan milik bersama peninggalan orangtuanya almarhum Polin Halomoan Silitonga dan almarhumah Marintan Br Simanjuntak. Hal ini dikarenakan dalam hukum adat Batak dalam pembagian warisan mengacu kepada hukum patrilinear. Artinya kedudukan perempuan tidak sama dengan laki-laki dalam mendapatkan warisan.
Namun Mejelis Hakim diketuai Saur Sitindaon SH dalam amar putusan Nomor:133/Pdt.G/2014/PN.Mdn, tanggal 28 Januari 2015 menyatakan, para penggugat dan tergugat ahli waris almarhum Polin Halomoan Silitonga dan almarhumah Marintan Br Simanjuntak, menyatakan objek sengketa warisan berupa tanah berikut bangunan di atasnya terletak di Jalan AR Hakim Medan, dengan bukti kepemilikan berupa SHM Nomor 34 dan 72 adalah merupakan harta peninggalan atau harta warisan dari almarhum Polin Halomoan Silitonga dan istrinya almarhumah Marintan Br Simanjuntak.
Menyatakan para penggugat dan tergugat masing-masing memperolah 1/6 bagian atas harta warisan dari almarhum Polin Halomoan Silitonga dan istrinya almarhumah Marintan Br Simanjuntak.
Hakim juga menyatakan para penggugat mendapat izin menjual seluruh harta warisan tersebut dibagikan kepada seluruh ahli waris dengan memperolah 1/6 bagian. Menghukum tergugat III Budi Robinson Silitonga, untuk menyerahkan asli bukti kepemilikan atas tanah dan berikut bangunan di atasnya kepada para penggugat.
Saksi ahli
Dalam sidang sebelumnya, dihadirkan Prof Dr Runtung Sitepu, SH, M.Hum yang merupakan saksi ahli hukum adat, dalam kesaksiannya menyebutkan, seiring dengan perkembangan zaman, anak perempuan tidak bisa lagi menerima keadaan. Untuk itu ada pergeseran hukum itu sendiri. Hal ini dikuatkan dengan Yurisprudensi Reg.No.179K/Sip./1961 tentang persamaan hak dalam pembagian harta warisan. Yurisprudensi ini juga menjelaskan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki Batak sama dalam pembagian warisan.
"Yurisprudensi ini menyatakan hak dari anak laki-laki dan perempuan dalam suku Batak sama besarnya dalam mewarisi harta orangtuanya. Yuriprundensi ini lahir dari penemuan hukum untuk memberikan adanya kepastian hukum," ucap Prof Runtung.
Hanya saja, jika para ahli waris bisa menyelesaikan warisan orangtuanya. Hukum adat Batak tradisionalah yang diberlakukan. Kesepakatan itu merupakan kekuatan hukum yang paling kuat. "Namun, jika salah satu pihak saja tidak sepakat, maka Yurisprudensi tersebut bisa menjadi acuan. Yurisprudensi ini pulalah yang menjadi rem daruratnya," kata Dekan Fakultas Hukum USU tersebut.
Penggugat
Tety Silitonga dan Berlian Silitonga (penggugat) adalah dua dari 7 anak almarhum Polin Halomoan Silitonga dan almarhumah Marintan Br Simanjuntak (pewaris) yang dikenal sebagai pemilik Wisma Umum di Jalan A.R Hakim Medan. Semasa hidup, satu dari 7 anak pewaris tersebut meninggal dunia yakni Mutiara Br Silitonga. Ketika meninggal dunia, pewaris meninggalkan 6 orang anak yakni 3 laki-laki dan tiga perempuan.
Sejak pewaris meninggal dunia, para ahli waris pernah berunding untuk pembagian harta warisan secara musyawarah dan mufakat. Namun, selalu gagal. Dengan gagalnya pembicaraan pembagian warisan tersebut, maka dua ahli waris yakni Tety dan Berlian mengajukan gugatan pembagian harta warisan ke Pengadilan Negeri Kelas I A Medan.
Keduanya menggugat empat anak orang pewaris lainnya yakni NH Silitonga Simanjuntak, Deliana Silitonga, Ir Budi Robinson Silitonga dan Oloan Silitonga. Mereka menggugat ke empatnya untuk mendapatkan bagian yang sama dari warisan.
Dengan putusan pengadilan ini maka para penggugat dan tergugat masing-masing memperolah 1/6 bagian atas harta warisan dari almarhum Polin Halomoan Silitonga dan istrinya almarhumah Marintan Br Simanjuntak.
Begitu juga putusan yang menyatakan para penggugat mendapat izin menjual seluruh harta warisan tersebut dibagikan kepada seluruh ahli waris dengan memperolah 1/6 bagian, dan menghukum tergugat III untuk menyerahkan asli bukti kepemilikan atas tanah dan berikut bangunan di atasnya kepada para penggugat, hendaknya dihormati.
Sumber: analisadaily
- Details
- Category: News of the Day
- By ZA Sitindaon
- Hits: 409
Bangkai kapal Titanic dalam citra 3 Dimensi. Foto: Atlantic Productions/Magellan
Titanic karam pada tahun 1912 dan bangkainya baru ditemukan pada tahun 1985. Pertanyaannya, mengapa bangkai Titanic itu tidak diangkat ke permukaan?
Sebenarnya, berbagai pihak ingin bangkai itu diangkat, tapi tidak memungkinkan karena satu dan lain hal. Berikut sebagian alasannya, dikutip detikINET dari Insider, Senin (3/7/2023):
Titanic adalah tempat pemakaman
Sekitar 1.500 orang tewas dalam tenggelamnya Titanic. Setelah kapal tenggelam, ditemukan lebih dari 300 mayat. Adapun korban lain mungkin tersapu lebih jauh dari lokasi oleh arus bawah laut, sementara yang lain tenggelam bersama kapal. Mereka tak pernah terlacak.
Untuk itu, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris sepakat menjadikan bangkai Titanic sebagai situs memorial. "NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) mengakui situs bangkai Titanic sebagai memorial maritim," sebut NOAA. Maka situs itu harus dipelihara dan dibiarkan, tidak untuk diangkat.
Pada tahun 2020, RMS Titanic Inc yang memiliki hak penyelamatan kapal, berencana mengambil kembali radio yang digunakan untuk melakukan panggilan darurat. Rencana itu memicu perdebatan tentang kemungkinan ekspedisi tersebut dapat mengganggu sisa-sisa jasad manusia.
Bagi sebagian orang, bangkai Titanic adalah penanda tragedi. Banyak keturunan dari mereka yang meninggal menganggapnya sebagai kuburan. Pada tahun 1987, penyintas Titanic Eva Hart menyebut mereka yang mengganggu situs tersebut adalah sama seperti bajak laut dan burung bangkai.
Kondisi bangkai Titanic memburuk
Kapal Titanic dibangun dari ribuan pelat baja setebal 1 inch. Namun setelah begitu lama berada di dalam laut, kondisi bangkai Titanic memburuk. Salah satu penyebabnya, bakteri yang dinamakan Halomonas titanicae, memakan besi dan sulfur yang ada.
Saat bakteri memakan besi kapal, mereka membentuk apa yang disebut rusticles, yang terlihat seperti stalaktit yang menutupi kapal. Rusticles itu adalah bentuk logam yang jauh lebih lemah, cukup rapuh untuk berubah menjadi debu. Arus laut dan korosi garam juga menyebabkan kerusakan di bangkai Titanic seiring waktu.
Biaya pengangkatan sangat mahal
Penggemar Titanic yang ambisius telah memimpikan cara untuk menaikkan kapal itu sejak 1914, ketika insinyur Charles Smith menyusun rencana untuk memasang kabel elektromagnetik ke lambung Titanic dan perlahan mengangkatnya dengan mesin uap dan derek.
Namun biayanya begitu besar yaitu USD 1,5 juta saat itu atau sekarang di kisaran USD 45 juta, sekitar Rp 676 miliar. Sebagai ilustrasi, menurut laporan The Atlantic, mengangkat kapal pesiar yang terbalik, Costa Concordia pada tahun 2013 menelan biaya USD 800 juta.
Padahal kapal itu hanya terendam sebagian, jadi mengangkat Titanic pasti prosesnya akan jauh lebih rumit dan mahal. Pasalnya, bangkai Titanic terletak 3.800 meter di kedalaman Samudera Atlantik.
Sumber: detik.com
- Details
- Category: News of the Day
- By ZA Sitindaon
- Hits: 1089
Foto: Wanita bernama Ardilla Rahayu Pongoh (ARP) di Sorong, Papua Barat Daya menangis usai dituntut penjara seumur hidup.(Juhra Nasih/detikcom)
Sorong - Ardilla Rahayu Pongoh tega menghabisi nyawa suaminya yang juga anggota Brimob Polda Papua Barat, Brigadir Yones Fernando Siahaan pada 2018 silam. Terungkap, pelaku ternyata sempat keceplosan ke ayah korban menjelang pemakaman.
Ayah Brigadir Yones, Hulman Siahaan mengatakan jenazah anaknya sempat dibawa ke rumah sakit pada hari kematiannya, Rabu, 28 Agustus 2018 silam. Brigadir Yones saat itu awalnya dilaporkan melakukan aksi bunuh diri.
Selanjutnya jenazah Brigadir Yones tak lagi dibawa pulang ke rumah pribadinya, melainkan dibawa ke rumah ayahnya. Ardilla yang juga pelaku pembunuhan pun ikut ke rumah Hulman.
Saat di rumah Hulman itulah Ardilla tiba-tiba keceplos anmengaku kepada ayah mertuanya bahwa bukan dia yang membunuh suaminya. Padahal saat itu Hulman tidak menanyakan sesuatu terkait kematian putranya.
"Dia langsung bilang ke saya, Amang bukan saya yang bunuh, tanpa saya bertanya," kata Hulman kepada detikcom, Jumat (30/6/2023).
Namun Hulman saat itu tidak menyadari dengan pernyataan Ardilla tersebut. Brigadir Yones hingga dimakamkan tetap diduga meninggal karena bunuh diri.
Kondisi mulai berubah karena anak Brigadir Yones yang menyaksikan ayahnya sebenarnya dibunuh oleh Ardilla mulai menunjukkan gestur ketakutan pada saat pemakaman. Anak Brigadir Yones yang saat itu masih berusia 6 tahun juga ketakutan ketika melihat pamannya.
"Saksi anak ini mengalami ketakutan yang luar biasa setelah bapaknya kami kebumikan kami ingat betul malam setelah kami kuburkan, anak nangis berjam-jam dan teriak-teriak tidak ada satupun yang bisa menenangkan dia, termasuk mamanya Ardilla," kata Hulman.
Saksi Anak Bongkar Ayahnya Dibunuh Istri
Anak korban yang terus menangis akhirnya dibawa ke Jakarta. Pihak keluarga menganggap sang anak butuh dihibur agar lupa dengan kematian ayahnya.
Namun setelah tiba di Jakarta, sang anak masih saja kerap trauma, terutama saat melihat pria berperawakan hitam dan tinggi besar. Kondisi ini membuat sang anak dibawa ke Komnas Perlindungan Anak di Jakarta dan saat itulah saksi anak mengungkap bahwa ayahnya dibunuh oleh ibunya.
"Saksi anak menyampaikan kepada interviewers Komnas (Perlindungan Anak) bahwa bapaknya tidak bunuh diri tetapi dibunuh pada malam kejadian," ujar Hulman.
Saat Ungkap Ayah Dibunuh Ibu Selingkuh
Hulman mengatakan cucunya itu kerap menangis hingga kencing di celana usai menceritakan pembunuhan sadis yang menimpa ayahnya. Hingga kini sang anak masih trauma.
"Setelah saksi anak menceritakan hal tersebut saksi anak sering menangis diam bahkan terkencing-kencing di celana dan lari ketakutan kalau melihat maaf orang berperawakan hitam dan tinggi besar, karena orang yang membunuh bapaknya berperawakan hitam dan tinggi besar di Jakarta, bahkan sampai sekarang pun masih tetap begitu," kata Hulman.
Diketahui, saksi anak tersebut juga sudah bersaksi saat sidang kasus pembunuhan Brigadir Yones di Pengadilan Negeri (PN) Sorong. Pasalnya, anak korban secara tak sengaja menyaksikan ayahnya dibunuh oleh ibunya, Ardilla dibantu paman Ardilla, Andi Abdullah Pongoh dan tiga pria yang tak dikenal
Kronologi Pembunuhan Brigadir Yones
Kasus pembunuhan Brigadir Yones berawal dari pertengkaran hebat antara korban dengan istrinya, Ardilla Rahayu Pongoh pada Selasa, 28 Agustus 2018 silam. Pertengkaran tersebut terjadi karena Ardilla ketahuan selingkuh oleh sang suami.
Pertengkaran tersebut terjadi di rumah pasutri tersebut di Jalan Sorong Makbon Perumahan Bambu Kuning, Kelurahan Giwu, Kota Sorong. Pertengkaran tersebut disaksikan anak korban yang masih berusia 6 tahun.
Pertengkaran hebat kedua orang tuanya membuat saksi anak gelisah di kamarnya. Kegelisahan itu membuat saksi anak tak bisa memejamkan matanya hingga malam hari.
Anak Brigadir Yones yang gelisah dan tak bisa memejamkan matanya sejak Selasa (28/8/2018) malam itu kemudian mencoba mengintip dari balik gorden kamarnya pada Rabu (29/8/2018) dini hari. Saat itu anak korban bermaksud mencari tahu kondisi ayah dan ibunya usai pertengkaran hebat tersebut.
Saat mengintip, saksi anak justru melihat paman dari ibunya, Andi Abdullah Pongoh dan 3 orang pria yang tidak diketahui identitasnya. Keempat pria itu disebut berada di area dapur rumah.
"(Saksi anak-anak korban) yang gelisah dan belum tidur lalu melihat dari balik gorden kamarnya yaitu terdakwa II Andi Abdullah dan 3 pelaku lainnya yang tidak dikenali identitasnya sudah berada di rumah," demikian kronologi yang terungkap dalam dakwaan penuntut umum, dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Selasa (27/6).
Saat itu Brigadir Yones ternyata ada di dalam kamar mandi rumahnya. Andi Abdullah dan tiga pria yang tidak dikenal itu kemudian menyerang Brigadir Yones saat keluar dari kamar mandi.
"Terdakwa Andi Abdullah Pongoh bersama dengan 3 pelaku yang tidak diketahui identitasnya memegang tangan, kaki dan mencekik leher korban Yones Siahaan dengan cara 1 orang pelaku memegang kedua tangan dari arah depan korban," kata jaksa.
Satu orang pelaku disebut memegang kedua kaki Brigadir Yones. Sementara satu pelaku lainnya mencekik leher korban dari arah belakang.
"Korban sudah tidak bisa bergerak lagi kemudian dari arah belakang terdakwa II Andi Abdullah melayangkan kepal tinju (memukul) dari arah kepala belakang korban hingga korban terjatuh ke lantai dapur dan tidak berdaya lagi," kata jaksa.
Saksi anak yang melihat ayahnya dihabisi pelaku kian terkejut karena ibunya tiba-tiba datang membawa kabel berwarna merah. Sang ibu bersama-sama dengan pelaku lainnya menggantung ayahnya sebagai skenario kematian ayahnya karena bunuh diri.
"Dengan cara memindahkan korban di bawah pintu dapur dengan tetap terlilit kabel Eterna warna merah di leher korban Yohanes Fernando Siahaan," ungkap jaksa.
Hingga akhirnya aksi saksi anak mengintip dari balik gorden ketahuan oleh ibunya. Ardilla yang panik lantas mendatangi saksi anak atau putranya itu.
"Terdakwa I mengancam korban dengan mengatakan, kalau kamu bilang siapa-siapa, kubikin kayak bapakmu, mendengar hal tersebut membuat anak saksi anak menjadi ketakutan dan trauma terhadap terdakwa I. (Saksi anak) langsung naik ke tempat tidurnya lalu pura-pura tidur dan tidak mau melihat lagi terdakwa I," kata jaksa
Sumber: detik.com/sulsel
- Details
- Category: News of the Day
- By ZA Sitindaon
- Hits: 332

IDI JADI DURI BUAT IBU PERTIWI.
Beberapa waktu yll saya menulis ttg bagaimana bagusnya berobat ke negeri Jiran, khususnya Penang karena saya ada 6-7 kasus keluarga yg di selesaikan disana.
Pak Jokowi menyampaikan ada devisa melayang 163 triliun per tahun karena warga Indonesia berobat ke luar negeri.
Hari ini saya dikirimi foto Ikatan Dokter Indonesia demo, seperti gak mau kalah dgn buruh yg selalu ribut soal upah, lha IDI justru banyak masalahnya di tubuh IDI sendiri.
Demonya menolak RUU ombuslaw. Apa yg salah dgn RUU itu, kenapa IDI resinten dan arogan. Apa karena status organisasi ini profesional dan independen. Terus negara gak boleh ikut memberi masukan utk kebaikan. Hebat kali kalian. Mau buat kerajaan dalam negara.

Organisasi dokter Indonesia yg berdiri sejak 24 Oktober 1950 ini sebenarnya punya visi misi yg harusnya sudah tercapai. Karena organisasi ini sudah berusia 72 tahun, sudah kakek-kakek. Tapi kelakuannya merengek-rengek.
Ada 4 poin penting visi misi IDI.
1. Menjadikan IDI sebagai organisasi yg mandiri dan independen.
2. Solid dan berwibawa.
3. Kesejahteraan dokter dan profesional.
4. Menjadikan masyarakat sehat.
Poin 1, mungkin sudah tercapai, tergantung persepsinya.
Poin 2, Solid mungkin iya, berwibawa kayaknya nggak juga.
Poin 3, kesejahteraan dokter yg di perkotaan mungkin iya, karena banyak praktek dan berhubungan dgn pabrik farmasi. Jadi pemasar obat melalui resep.
Poin 4, kayaknya belum deh. Lha buktinya rakyat Indonesia masih 2 jutaan yg berobat keluar negeri.
Pasca saya menulis ttg berobat ke Penang banyak DM saya terima. Isinya malah nanya dr di Penang, sampai terakhir isunya mahasiswa kedokteran yg ngambil spesialis yg di ajak audiensi Kemenkes diancam IDI. Kalau memenuhi undangan Kemenkes diancam tak lulus.
Puncak nya demo itu kali.
Sampai sekarang yg lucu dan konyol kan sudah lama kita tau, bahwa dr tamatan luar gak diakui IDI. Dr. Gunawan yg praktek di RS Singapura, dia orang Indonesia, perawatnya orang Indonesia, adminnya orang Indonesia, yg berobat orang Indonesia. RS nya di Singapura. Kekonyolan ini hanya karena IDI tak mengakui ybs.
Iki jar pie Dul. Saya orang Indonesia yg bukan dr bukan dukun saja malu dengarnya. Saya kok jadi suuzhon jangan-jangan IDI ini perwakilan RS dari luar negeri yg sengaja membuat orang Indonesia sulit berobat dan tak sembuh di Indonesia agar terbang ke RS Jiran.
Terus konon ngambil dr spesialis di dalam negeri susahnya ampun, ada kesan di persulit, mahal, sampai banyak dr yg stress karena harus melayani permintaan macam-macam dari dr seniornya. Dari mulai karaoke, spa, sampai maaf minta di Carikan PSK. Padahal Indonesia masih kekurangan dr spesialis menurut kemenkes sebanyak 30.000 dr. Yg ada skrg baru 43.000 dari jumlah dr yg baru 124.000 di Indonesia.
Artinya rasio dr spesialis harusnya 60% dari total dr. Skrg baru mencapai 35%, terus ini kapan dicapainya kalau kelakuan seniornya bocor semua. Belum lagi ketimpangan penyebaran dr pada wilayah Indonesia. Di pulau Jawa rata-rata 1: 2.000 atau 1 dr untuk 2.000 orang. Atau 0,05%.

Rata-rata nasional 1 dr utk 2.200 orang. Tapi di Papua 1 dr utk 4.200 orang. Sementara di DKI 1 dr utk 400 orang. Saya pernah dengar di Jakarta 1 puskesman dgn 4 dr. Di Papua 1dr utk 4 puskesmas. Jadi kalau ada yg kritis pada satu puskesmas, saat dr nya sampai yg sakit sudah mati duluan.

Standar who 1 dr utk 1.000 orang, di negara maju saat ini sudah ada yg 3:1.000 malah ada yg menuju 5:1.000.
Rasio dr di Asean
1. Singapura 1,61%
2. Malaysia 1,54%
3. Timor Leste 0,77%
4. Myanmar ,0,74%
5. Philipina 0,60%
6. Indonesia 0,47%
Ini fakta ya yg mulia dr Indonesia. Ini harusnya PR kalian. Jangan kalian mengejar kesejahteraan, rakyat nya penyakitan.
Kesimpulannya IDI jgn dikasi hati. Negara ini butuh dr yg punya hati, bukan dr yg tinggi hati. Merasa menjadi masyarakat kelas utama, padahal ya kalau kaya duitnya dari orang sakit juga.
Pemerintah harus segera bertindak tegas, buat pilot project, mudahkan mahasiswa yg mau kuliah kedokteran, kalau perlu di gratiskan. Karena saat ini universitas kedokteran adalah universitas Borjuis, mahal, anak orang miskin pasti sampai batas kepingin saja utk jadi dokter.
Waktunya mendesak, pemerintahan Jokowi habis sebentar lagi. Ganjar harus siap menghajar organisasi apa saja yg kurang ajar.
DIDALAM TUBUH YG SEHAT, TERDAPAT PIKIRAN YG SEHAT. TAPI KALAU DOKTERNYA SESAT, RAKYAT DAN NEGARANYA SEKARAT.
Iyyas subiyakto
- Details
- Category: News of the Day
- By ZA Sitindaon
- Hits: 368
One of the few women who ruled ancient Egypt, Cleopatra VII was destined to be the last of her dynasty. But while she's often thought to be a great beauty who seduced Julius Caesar and Mark Antony, historians aren't sure what Cleopatra looked like.
PHOTOGRAPH BY CHRISTIE'S IMAGES / BRIDGEMAN IMAGES
She ruled Egypt and seduced the Romans. But who was Cleopatra?
The legendary pharaoh is known for using her political savvy and considerable charm to gain power. But, in truth, there’s little we know for sure about her life.
BYERIN BLAKEMORE
PUBLISHED APRIL 28, 2023
9 MIN READ
Was she beautiful? Debatable. Was she charming? Probably. Was she politically astute and bent on using both her gender and her outsized power to further her needs? Certainly.
Perhaps no historical figure has so enflamed passions—and debates—than Cleopatra VII. Destined to be the last of her dynasty, the Egyptian pharaoh used seduction and political savvy to further the interests of ancient Egypt in the face of Roman expansion.
But though she is one of the best-known women in history, there’s little that historians and archaeologists can say for sure about Cleopatra. Here’s what is known about the legendary, yet mysterious, queen.
Who was Cleopatra?
Born to Egyptian king Ptolemy XII Auletes and an unknown mother in 69 B.C., Cleopatra was a member of an ancient Greek dynasty that had taken over Egypt in 305 B.C.
(Should women rule the world? The queens of ancient Egypt say yes)
Though the Ptolemaic Kingdom had adopted some Egyptian religious traditions, it ruled from the largely Greek city of Alexandria. As a result, Cleopatra grew up speaking Koine Greek, though she was reportedly the only one of her lineage to also learn Egyptian. Her life would be inextricably bound to unrest in Egypt—and the politics of the Roman Empire.


Top: This ragment of a bas-relief bears the image of Cleopatra—or at least what the artist believed Cleopatra may have looked like.
G. DAGLI ORTI /© NPL - DEA PICTURE LIBRARY / BRIDGEMAN IMAGES
Bottom: A bronze coin with the profile of Cleopatra wearing a diadem. Coins found bearing her image tell conflicting stories of what Cleopatra might have looked like.
PHOTOGRAPHS BY KENNETH GARRETT, NAT GEO IMAGE COLLECTION
How did she come to rule Egypt?
When her father died in 51 B.C. Cleopatra, then 18, was plunged into a controversy over which of Ptolemy XII’s children should rule Egypt. At first, she ruled jointly with the younger Ptolemy XIII, even marrying him in a nod to Egyptian tradition. But the young king wanted the throne for himself, and civil war soon broke out as they formed factions to help them gain full power. In response, Cleopatra briefly fled to Roman-controlled Syria.
Cleopatra’s father had been sympathetic to—and reliant on—Rome during his rule. The warring siblings were no different, and they quickly aligned themselves with different sides in Rome’s own brewing civil war. From her exile in Syria, Cleopatra turned to Julius Caesar, then a general and politician intent on becoming Rome’s sole dictator, for help regaining her throne.
Cleopatra and Julius Caesar
Despite a dramatic age difference—Caesar was about 30 years older than Cleopatra—and the fact that he was married, they began a romantic relationship, and he pledged his support for her.
In 47 B.C., while fleeing Caesar’s troops, Ptolemy XIII drowned in the Nile River near Alexandria. With Egypt in the hands of Caesar, Cleopatra took back the throne as her own, swiftly married her 12-year-old brother, Ptolemy XIV, and declared him her co-ruler. She gave birth to a child her contemporaries assumed to be Caesar’s son, whom she named Caesarion. (No, this is not the origin of the term “cesarean section.”)
(Egypt's last pharaoh was the 'love child' of Caesar and Cleopatra)
Cleopatra and Caesar’s relationship lasted until his murder on the Ides of March in 44 B.C., at the hands of his enemies in the Senate.
Cleopatra had been on an extended visit to Rome at the time of Caesar’s murder and briefly remained there in the hopes of convincing the Romans to recognize Caesarion as the rightful heir of Roman power. Soon, though, she returned to Alexandria, where she is thought to have had her brother assassinated by poison before taking up her throne once more alongside Caesarion.
Antony and Cleopatra

PHOTOGRAPH BY THE HOLBARN ARCHIVE / BRIDGEMAN IMAGES
Caesar was dead, but Cleopatra’s relationship with Rome was far from over. Roman general Mark Antony—who had ascended to power as one of Rome’s three joint leaders, or triumvirs—demanded a meeting with Cleopatra in an effort to continue the Egyptian-Roman alliance. Eager to maintain Egypt’s close relationship with Rome, Cleopatra traveled to Tarsus in modern-day Turkey to meet him in 41 B.C.
Cleopatra is believed to have arrived in Tarsus in high style on a sumptuous barge. “Cleopatra invested her ocean excursions with carefully chosen costumes, divine associations, expensive textiles and jewels, music, and exotic essences,” writes art historian Diana E. E. Kleiner. The pharaoh meant to impress, and it worked. Almost immediately, she began a torrid love affair with the married Antony, who moved to Alexandria to be with her.
The fall off Cleopatra
But Antony’s infatuation with Cleopatra—and the reputed excesses of their life in the Egyptian seat of power—led to both their downfalls. The Roman ruler plunged into outright war with his co-triumvirs and his own people, who resented what they saw as Egypt’s influence in Roman affairs.
(Inside the decadent love affair of Cleopatra and Mark Antony)
After a battle in 30 B.C., the Egyptian queen realized that Antony’s troops were headed to total defeat. So she barricaded herself in her royal mausoleum and told Antony she planned to kill herself. In response, Antony stabbed himself, eventually dying in her arms.
Cleopatra attempted to negotiate with Octavian, her lover’s former co-ruler, but when she realized he intended to take her captive and parade her in the streets as a prize, she again barricaded herself in her tomb with some servants and killed herself, likely with poison. The rule of her dynasty was over, and Egypt was taken over by Rome.
What we don't know about Cleopatra

Cleopatra's death has been dramatized many times throughout history—most notably in Shakespeare's Antony & Cleopatra—but historians have found little evidence of how her life ended.
PHOTOGRAPH BY TARKER / BRIDGEMAN IMAGES
Legend has it that Cleopatra took her life with the help of a poisonous viper called an asp, but there is no proof. Nor have archaeologists ever found the mausoleum where she, and likely Antony, died. As Chip Brown wrote for National Geographic's July 2011 issue, “Most of the glory that was ancient Alexandria now lies about 20 feet underwater.”
There’s also no way to gauge the accuracy of historical portrayals of the queen, which are deeply contradictory and show the biases of their time. Some extant coins show Cleopatra as a plain-looking woman, while others depict a mirror image of Antony, reflecting their makers’ opinions about the female ruler’s liaison with her Roman lover. Debates also still rage about Cleopatra’s race, although historians point out that not only do we not know for sure but our entire concept of race didn’t exist in Cleopatra’s time.
(Searching for the true face—and the burial place—of Cleopatra.)
Written sources about Cleopatra are also scant. The library of Alexandria was destroyed multiple times, taking contemporary accounts of Cleopatra with it. According to the ancient chronicler Plutarch, whose biography of Antony is one of the most detailed accounts of Cleopatra’s reign, Cleopatra was a woman of “the most brilliant beauty and...at the acme of intellectual power.” But he wrote about the Egyptian queen hundreds of years after her death—and brought a decidedly Roman viewpoint to his work on the queen.
Despite our lack of understanding of Cleopatra’s life, she remains relevant today. From Shakespearean tragedy to Netflix docudrama, she has gained a nearly legendary reputation as a wily politician with an almost superhuman ability to seduce.
Though the former was almost certainly true, we may never know why some of the world’s most powerful men succumbed to Cleopatra’s charms. What is certain is that, more than 2,000 years after her death, the woman who so cannily ruled men—and her people—still manages to enchant and mystify modern audiences.
Source: nationalgeographic